-
alam sekita rumah pitung
-
Toples Betawi
-
Tempat Tidur Si Pitung
-
Tempat Bermain
-
Rumah Panggung
-
Ruang Tengah Rumah Si Pitung
-
Peti Klasik Ny Wisnani
-
Perabotan Dapur Rumah Si Pitung dan Ruang Tamu Si Pitung
-
Pemandangan Sekitar Rumah Si Pitung
-
Pemandangan dari Beranda Rumah Si Pitung
-
Miniatur Kapal
-
Lapangan Bermain di Sekitar Rumah Si Pitung
-
Lampu Tradisional Betawi dan pakain si pitung
-
Lampu Minyak Tradisional Betawi
-
Foto Si Pitung
-
Beranda Rumah Si Pitung
-
Alas Kayu Rumah Si Pitung
-
Cagar Budaya Rumah Si Pitung
Cagar Budaya Rumah Si Pitung
Si Pitung adalah nama seorang jagoan yang aksinya seringkali membuat pusing kolonial atau penjajah Belanda di tanah Betawi. Tentu saja ini adalah sebuah cerita lampau sebuah legenda perjuangan putra Betawi yang digambarkan seperti kisah Robin Hood di hutan Sherwood. Dalam beberapa catatan sejarah Si Pitung sendiri memang pernah ada dan hidup pada tahun 1800an, ketika Belanda menerapkan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel di nusantara yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu dan nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panendiserahkan kepada pemerintah kolonial.
Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Ibu kandung Si Pitung berasal dari Rawa Belong, ayahnya berasal dari kampung Cikoneng, Tangerang. Diperkirakan Pitung lahir pada tahun 1866 di Tangerang. Sekitar usia delapan tahun Pitung merasakan kehidupan pahit. Kedua orang tuanya bercerai. Pitung bersama ibunya kembali ke Rawa Belong. Di Rawa Belong Pitung menggembala kambing milik kakeknya. Setelah berusia 14 tahun Pitung dipercaya menjual kambing di pasar Kebayoran. Pada suatu hari saat kembali dari pasar menjual kambing, Pitung dirampok. Ia tak berani pulang. Takut dimarahi kakek dan ibunya. Pitung akhirnya mengembara dengan dendam yang amat sangat terhadap kejadian itu.
Dalam pengembaraannya sampailah ia di kampung Kemayoran dan berkenalan dengan guru Na'ipin, seorang ahli tarekat yang pandai silat. Guru Na'ipin adalah murid dari guru Cit, seorang mursyid, guru tarekat dari kampung Pecenongan, Jakarta Pusat. Sekitar enam tahu Pitung berguru pada Na'ipin. Guru Nai'ipi ini juga bersahabat dengan Mohammad Bakir, pengarang Betawi akhir abad 19 yang karyanya tersimpan di sejumlah museum terkemukan di dunia, antara lain St. Petersburg Rusia, London, dan Belanda.
Si Pitung kemudian dikisahkan sebagai seorang jagoan kebal peluru yang sering merampok orang-orang kaya. Hasil rampokan itu kemudian dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin dan menganggap Pitung sebagai pahlawan. Namun bagi Belanda aksi si Pitung ini sangat merugikan dan meresahkan hingga akhirnya polisi Belanda mengadakan operasi untuk menangkap Si Pitung hidup atau mati.
Dalam menjalankan aksinya, Si Pitung tidak membangun komplotan, melainkan hanya berdua dengan sepupunya Ji'ih yang kemudian tertangkap polisi Belanda. Setelah itu Si Pitung beraksi sendiri. Karena itulah sulit polisi mendapatkan informasi tentang Si Pitung. Barbagai cara dilakukan Belanda. Salah satunya dengan merekrut jagoan-jagoan lokal Betawi yang tahu akan kelemahan Si Pitung. Selama delapan tahun (1886-1894) Si Pitung telah meresahkan Batavia. Penasehat Pemerintah Hindia Belanda urusan Bumiputera, Snouck Hurgronje mengecam habis kepala polisi Batavia Schout Hijne yang tak mampu menangkap Si Pitung.
Hurgronje menganggap amat keterlaluan kalau seorang Eropa seperti Hijne sampai harus menggunakan jasa dukun untuk dapat menangkap Pitung dan menganggap kepala polisi ini sangat tidak terpelajar. Lebih menngusarkan lagi Si Pitung dapat meloloskan diri dari penjara Meester Cornelis ketika tertangkap pada tahun 1891. Tidak hanya itu, di luar penjara Si Pitung masih sempat membunuh Demang Kebayoran yang menjadi musuh-musuh petani Kebayoran yang juga telah menjebloskan saudara misan Pitung bernama Ji'ih ke penjara yang kemudian dihukum mati.
Margriet van Teel dalam laporan penelitiannya (1984), sebagaimana diberitakan media Belanda Bijdrage tahun penerbitan semasa itu mengungkapkan bahwa polisi Belanda pernah menggerebek rumah Si Pitung di Rawa Belong, Jakarta Barat. Di rumah itu hanya ditemukan beberapa keeping uang benggolan senilai 2,5 sen yang tersimpan di bambu. Padahal selama delapan tahun Si Pitung melakukan aksi perampokan dengan sasaran saudagar yang dinilainya bersekutu dengan Belanda telah mengeruk uang dan emas permata yang tidak sedikit nilai dan jumlahnya.
Perburuan si Pitung mulai dilakukan. Si Pitung menjadi buronan paling dicari saat itu. Ia berpindah- pindah dari satu tempat ke tempat persembunyian lainnya. Salah satu tempat persembunyian Si Pitung ini terdapat di Marunda sebuah lokasi di pesisir pantai utara Jakarta. Karena seringnya Pitung berkunjung ke Marunda, akhirnya tercium oleh mata-mata Belanda. Jalur Pitung dilacak. Pitung selalu muncul dari arah Pondok Kopi, Jakarta Timur jika hendak ke Marunda. Pada suatu petang Schout Hijne dengan kakuatan satu regu pasukan polisi bersenjata lengkap menanti Pitung di Pondok Kopi. Begitu hari mulai gelap Pitung muncul. Ia dihujani peluru. Pitung rebah, tapi tak langsung tewas. Ia dibawa ke rumah sakit militer, sekarang RSPAD, Jakarta Pusat.
Menurut Margriet van Teel, sepanjang perjalanan Pitung terus menerus menyanyikan lagu Nina Bobo sehingga ditegur Schout Hijne apa kiranya permintaan terakhir Pitung karena tampaknya ajal akan manjemput. Pitung mengatakan ia minta diberikan tuak—air nira dengan es. Permintaan dikabulkan. Segelas tuak diminumnya dan Si Pitung pun akhirnya meninggal. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi dalam bukunya "Si Pitung, Perampok atau Pemberontak," Pitung mati muda dalam usia 28 tahun.
Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Ibu kandung Si Pitung berasal dari Rawa Belong, ayahnya berasal dari kampung Cikoneng, Tangerang. Diperkirakan Pitung lahir pada tahun 1866 di Tangerang. Sekitar usia delapan tahun Pitung merasakan kehidupan pahit. Kedua orang tuanya bercerai. Pitung bersama ibunya kembali ke Rawa Belong. Di Rawa Belong Pitung menggembala kambing milik kakeknya. Setelah berusia 14 tahun Pitung dipercaya menjual kambing di pasar Kebayoran. Pada suatu hari saat kembali dari pasar menjual kambing, Pitung dirampok. Ia tak berani pulang. Takut dimarahi kakek dan ibunya. Pitung akhirnya mengembara dengan dendam yang amat sangat terhadap kejadian itu.
Dalam pengembaraannya sampailah ia di kampung Kemayoran dan berkenalan dengan guru Na'ipin, seorang ahli tarekat yang pandai silat. Guru Na'ipin adalah murid dari guru Cit, seorang mursyid, guru tarekat dari kampung Pecenongan, Jakarta Pusat. Sekitar enam tahu Pitung berguru pada Na'ipin. Guru Nai'ipi ini juga bersahabat dengan Mohammad Bakir, pengarang Betawi akhir abad 19 yang karyanya tersimpan di sejumlah museum terkemukan di dunia, antara lain St. Petersburg Rusia, London, dan Belanda.
Si Pitung kemudian dikisahkan sebagai seorang jagoan kebal peluru yang sering merampok orang-orang kaya. Hasil rampokan itu kemudian dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin dan menganggap Pitung sebagai pahlawan. Namun bagi Belanda aksi si Pitung ini sangat merugikan dan meresahkan hingga akhirnya polisi Belanda mengadakan operasi untuk menangkap Si Pitung hidup atau mati.
Dalam menjalankan aksinya, Si Pitung tidak membangun komplotan, melainkan hanya berdua dengan sepupunya Ji'ih yang kemudian tertangkap polisi Belanda. Setelah itu Si Pitung beraksi sendiri. Karena itulah sulit polisi mendapatkan informasi tentang Si Pitung. Barbagai cara dilakukan Belanda. Salah satunya dengan merekrut jagoan-jagoan lokal Betawi yang tahu akan kelemahan Si Pitung. Selama delapan tahun (1886-1894) Si Pitung telah meresahkan Batavia. Penasehat Pemerintah Hindia Belanda urusan Bumiputera, Snouck Hurgronje mengecam habis kepala polisi Batavia Schout Hijne yang tak mampu menangkap Si Pitung.
Hurgronje menganggap amat keterlaluan kalau seorang Eropa seperti Hijne sampai harus menggunakan jasa dukun untuk dapat menangkap Pitung dan menganggap kepala polisi ini sangat tidak terpelajar. Lebih menngusarkan lagi Si Pitung dapat meloloskan diri dari penjara Meester Cornelis ketika tertangkap pada tahun 1891. Tidak hanya itu, di luar penjara Si Pitung masih sempat membunuh Demang Kebayoran yang menjadi musuh-musuh petani Kebayoran yang juga telah menjebloskan saudara misan Pitung bernama Ji'ih ke penjara yang kemudian dihukum mati.
Margriet van Teel dalam laporan penelitiannya (1984), sebagaimana diberitakan media Belanda Bijdrage tahun penerbitan semasa itu mengungkapkan bahwa polisi Belanda pernah menggerebek rumah Si Pitung di Rawa Belong, Jakarta Barat. Di rumah itu hanya ditemukan beberapa keeping uang benggolan senilai 2,5 sen yang tersimpan di bambu. Padahal selama delapan tahun Si Pitung melakukan aksi perampokan dengan sasaran saudagar yang dinilainya bersekutu dengan Belanda telah mengeruk uang dan emas permata yang tidak sedikit nilai dan jumlahnya.
Perburuan si Pitung mulai dilakukan. Si Pitung menjadi buronan paling dicari saat itu. Ia berpindah- pindah dari satu tempat ke tempat persembunyian lainnya. Salah satu tempat persembunyian Si Pitung ini terdapat di Marunda sebuah lokasi di pesisir pantai utara Jakarta. Karena seringnya Pitung berkunjung ke Marunda, akhirnya tercium oleh mata-mata Belanda. Jalur Pitung dilacak. Pitung selalu muncul dari arah Pondok Kopi, Jakarta Timur jika hendak ke Marunda. Pada suatu petang Schout Hijne dengan kakuatan satu regu pasukan polisi bersenjata lengkap menanti Pitung di Pondok Kopi. Begitu hari mulai gelap Pitung muncul. Ia dihujani peluru. Pitung rebah, tapi tak langsung tewas. Ia dibawa ke rumah sakit militer, sekarang RSPAD, Jakarta Pusat.
Menurut Margriet van Teel, sepanjang perjalanan Pitung terus menerus menyanyikan lagu Nina Bobo sehingga ditegur Schout Hijne apa kiranya permintaan terakhir Pitung karena tampaknya ajal akan manjemput. Pitung mengatakan ia minta diberikan tuak—air nira dengan es. Permintaan dikabulkan. Segelas tuak diminumnya dan Si Pitung pun akhirnya meninggal. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi dalam bukunya "Si Pitung, Perampok atau Pemberontak," Pitung mati muda dalam usia 28 tahun.
05 Juli 2012 - 10:54:22 WIB
Dibaca : 3294
- Jalan Marunda Pulo Rt.01/07 Kel. Marunda Kec. Cilincing, Jakarta Utara di belakang STIP Marunda
- Setiap hari 08:00-17:00 Wib
- Maps