Pendekar Kelana
Seni beladiri pada dasarnya digunakan untuk pertahanan seseorang saat mendapat serangan. Dengan beladiri, orang akan memiliki kemampuan dalam mengolah raga. Kali ini, beladiri akan ditampilkan untuk pertunjukkan lho. Mau tahu? Kamis, 7 Juli lalu, ada pertunjukkan teater silat yang berjudul Pendekar Kelana. Acara berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta, Jalan Gedung Kesenian1, Pasar Baru, Jakarta Pusat pada 19:30 Wib.
Atas kerjasama pesilat Merpati Putih dengan diproduseri oleh Gelar. Pesilat dari Merpati Putih beraksi di atas pentas dengan setting kontemporer berbasis tradisi. Tujuannya untuk memperkenalkan kembali dan mengangkat kesenian tradisi di tengah maraknya berbagai bentuk seni beladiri asing yang kian gencar masuk ke Indonesia. Pertunjukannya menggunakan non-verbal. Artinya minim kata-kata dan sangat mengandalkan gerak tubuh, mimik dan ekspresi pemain dimana komunikasi dengan penonton juga akan terjalin melalui gerak.
Pertunjukkan ini menceritakan kehidupan seorang pemuda yang bersahaja bernama Kelana. Salah satu murid perguruan silat ternama di perkampungan itu. Sebagai murid andalan yang teramat kondang di seantero kampung. Ditambah, pribadinya yang tenang, jujur, baik hati dan suka menolong, membuatnya kerap menjadi buah bibir warga. Disegani para pemuda, digandrungi gadis-gadis, bahkan tak kurang para ibu ingin mengambilnya sebagai menantu. Meski demikian, hati Kelana hanya terpaut pada seorang dara. Maharani namanya. Tak lain adik seperguruan Kelana, yang juga putri bungsu Lurah.
Suatu ketika terjadilah sebuah peristiwa yang membuatnya menguak otak dibalik masalah yang meresahkan warga kampungnya selama ini. Ulah preman dan pungutan liar mulai merajalela dan meresahkan warga dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Belum lagi persoalan penggelapan pajak hingga pembebasan tanah. Preman yang tak suka daerah operasinya diacak-acak, diam-diam melarikan diri untuk melapor pada atasannya. Tak dinyana, adalah anak buah Lurah. Rupanya, Lurahlah yang tak memiliki keberpihakan pada warganya. Keberanian Kelana membela warga kampung yang tertindas cukup meresahkan Pak Lurah dan jajarannya.
Hal ini akhirnya memupuk keberanian warga untuk melawan. Tak mampu menghadapi kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang koruptor, Maharani terguncang. Dengan mata kepalanya sendiri, ia harus menyaksikan ayahnya diadili massa di tengah pasar. Sementara itu, Kelana yang bertekad untuk mempertahankan kebenaran membela kaum tertindas, hendak menyerahkan ayah kekasihnya yang koruptor itu ke pihak berwajib. Apa daya, meski sudah berusaha keras untuk menghentikan amukan warga, Kelana tak berhasil membendung kemarahan massa. Maharani kecewa. Jiwanya bergolak karena merasa ayahnya telah diperlakukan tidak adil. Ia marah dan kecewa pada warga kampung yang tak mau memberi ayahnya kesempatan. Ia menyalahkan Kelana yang tak mampu mencegah itu terjadi. Bagi Maharani, kebenaran sejati menyisakan ruang bagi keadilan, bahkan pengampunan.
Baginya, kebenaran sejati juga mengenal rasa welas asih, seperti yang pernah diamanahkan gurunya. Keyakinannya goyah. Antara malu, marah dan kecewa, sang dara meninggalkan Kelana dengan dada sesak penuh dendam. Ia berjanji pada dirinya untuk menuntut keadilan. Kelana meradang penasaran. Mengapa Maharani meninggalkannya? Salahkah bila ia membela mereka yang tertindas? Baginya, semua belum berakhir dan harus dituntaskan. Ia bertekad terus mencari kemana perginya sang kekasih hati, sekaligus mencari makna kebenaran yang sesungguhnya.
Lalu, bagaimanakah akhir kisahnya? Dapatkah Kelana menemukan Maharani dan menuntaskan perbedaan diantara mereka? Kisah tersebut mengandung pelajaran bahwa kondisi untuk membela kebenaran dan ketertindasan saat ini bisa dilakukan oleh siapa saja dan darimana saja. (Firman)
Atas kerjasama pesilat Merpati Putih dengan diproduseri oleh Gelar. Pesilat dari Merpati Putih beraksi di atas pentas dengan setting kontemporer berbasis tradisi. Tujuannya untuk memperkenalkan kembali dan mengangkat kesenian tradisi di tengah maraknya berbagai bentuk seni beladiri asing yang kian gencar masuk ke Indonesia. Pertunjukannya menggunakan non-verbal. Artinya minim kata-kata dan sangat mengandalkan gerak tubuh, mimik dan ekspresi pemain dimana komunikasi dengan penonton juga akan terjalin melalui gerak.
Pertunjukkan ini menceritakan kehidupan seorang pemuda yang bersahaja bernama Kelana. Salah satu murid perguruan silat ternama di perkampungan itu. Sebagai murid andalan yang teramat kondang di seantero kampung. Ditambah, pribadinya yang tenang, jujur, baik hati dan suka menolong, membuatnya kerap menjadi buah bibir warga. Disegani para pemuda, digandrungi gadis-gadis, bahkan tak kurang para ibu ingin mengambilnya sebagai menantu. Meski demikian, hati Kelana hanya terpaut pada seorang dara. Maharani namanya. Tak lain adik seperguruan Kelana, yang juga putri bungsu Lurah.
Suatu ketika terjadilah sebuah peristiwa yang membuatnya menguak otak dibalik masalah yang meresahkan warga kampungnya selama ini. Ulah preman dan pungutan liar mulai merajalela dan meresahkan warga dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Belum lagi persoalan penggelapan pajak hingga pembebasan tanah. Preman yang tak suka daerah operasinya diacak-acak, diam-diam melarikan diri untuk melapor pada atasannya. Tak dinyana, adalah anak buah Lurah. Rupanya, Lurahlah yang tak memiliki keberpihakan pada warganya. Keberanian Kelana membela warga kampung yang tertindas cukup meresahkan Pak Lurah dan jajarannya.
Hal ini akhirnya memupuk keberanian warga untuk melawan. Tak mampu menghadapi kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang koruptor, Maharani terguncang. Dengan mata kepalanya sendiri, ia harus menyaksikan ayahnya diadili massa di tengah pasar. Sementara itu, Kelana yang bertekad untuk mempertahankan kebenaran membela kaum tertindas, hendak menyerahkan ayah kekasihnya yang koruptor itu ke pihak berwajib. Apa daya, meski sudah berusaha keras untuk menghentikan amukan warga, Kelana tak berhasil membendung kemarahan massa. Maharani kecewa. Jiwanya bergolak karena merasa ayahnya telah diperlakukan tidak adil. Ia marah dan kecewa pada warga kampung yang tak mau memberi ayahnya kesempatan. Ia menyalahkan Kelana yang tak mampu mencegah itu terjadi. Bagi Maharani, kebenaran sejati menyisakan ruang bagi keadilan, bahkan pengampunan.
Baginya, kebenaran sejati juga mengenal rasa welas asih, seperti yang pernah diamanahkan gurunya. Keyakinannya goyah. Antara malu, marah dan kecewa, sang dara meninggalkan Kelana dengan dada sesak penuh dendam. Ia berjanji pada dirinya untuk menuntut keadilan. Kelana meradang penasaran. Mengapa Maharani meninggalkannya? Salahkah bila ia membela mereka yang tertindas? Baginya, semua belum berakhir dan harus dituntaskan. Ia bertekad terus mencari kemana perginya sang kekasih hati, sekaligus mencari makna kebenaran yang sesungguhnya.
Lalu, bagaimanakah akhir kisahnya? Dapatkah Kelana menemukan Maharani dan menuntaskan perbedaan diantara mereka? Kisah tersebut mengandung pelajaran bahwa kondisi untuk membela kebenaran dan ketertindasan saat ini bisa dilakukan oleh siapa saja dan darimana saja. (Firman)
18 Juli 2011 - 15:19:01 WIB
Dibaca : 1673